Para pembesar kini ramai-ramai masuk desa. Dia mendadak dermawan dan tabiatnya berubah frontal menjadi manusia paling ramah. Siapa saja yang ditemui disapa dan diajak bicara. Tidak lupa salam tempel sebelum berpisah, amplop berisi duit. Apakah semurah itu ‘harga’ rakyat? Nanti dulu.
Di desa-desa itu rakyat memang dengan senang hati menerima pemberian itu. Mereka mengucap dukungan juga simpati. Itu ketika sang calon wakil rakyat masih berdekat-dekat. Namun ketika dermawan dadakan itu hilang dari pandangan, maka sinisme rakyat kembali muncul. Dia menyebut orang yang habis memberinya uang adalah ‘calon legrek’. Plesetan dari akronim calon legislatif.
Kenapa calon wakil rakyat itu disebut sebagai calon legrek? Calon manusia yang rusak fisik, bakal melarat jika tidak jadi, dan sosok manusia rusak iman ketika kelak menduduki jabatan sebagai wakil rakyat?
Itu tidak lepas dari sikap wakil rakyat saat ‘memerintah’ dan ketika kini maju lagi mencalonkan diri. Rakyat telah ‘diberi’ pelajaran berharga. Para politisi itu hanya berbaik-baik ketika mendekati pemilihan umum tiba. Namun tatkala dukungan sudah diberikan, ternyata rakyat tidak pernah ‘disentuh’, apalagi diperjuangkan nasibnya. Para elit partai itu asyik ongkang-ongkang menikmati berbagai fasilitas. Malah korupsi jika ada kesempatan.
Legrek memang bermakna rusak parah. Itu logis. Sebab calon wakil rakyat itu akan rusak tubuhnya karena digerogoti penyakit akibat lelah kampanye yang tidak biasa dilakukan. Rusak kantong karena terus menguras uang yang ada dalam tabungan atau hasil utangan. Dan itu yang sekaligus membuat rakyat berkesimpulan, sang calon juga bakal rusak akhlak saat jabatan wakil rakyat sudah disandang.
Caleg yang disebut ‘calon legrek’ itu adalah sama dan sebangun dengan kandidat orang susah yang menyusahkan. Orang yang bakal melarat dan sakit-sakitan jika gagal dipilih. Juga bakal menjadi ‘calon pemimpin yang menyusahkan’ ketika berhasil meraih jabatan.
Asumsi semacam itu tidak salah. Sebab realitasnya calon wakil rakyat selama ini memang seperti itu. Dia menghambur-hamburkan harta hanya demi menggaet simpati rakyat. Dia menguras tenaga, blusukan masuk kampung keluar desa agar dikenal namanya, partainya, juga nomor urut yang harus dicontreng. Dan ini yang diasumsikan ujungnya akan berakhir pada ‘gosip jalanan’ Slank. Mencari duit dengan berbagai cara untuk mengembalikan ‘modal’ yang sudah ditebar.
Gambaran kelam itu yang hari-hari ini meresahkan para calon wakil rakyat itu. Mereka seperti berjudi, yang kans kalah lebih tinggi dibanding menang. Itu terpancar dari muka-muka mereka yang tak lagi bersih dan sumringah (berbinar-binar).
Para calon wakil rakyat itu rata-rata sekarang ini lusuh dan lelah. Malah ada yang berpenampilan seperti orang gila. Kemana-mana membawa organ tunggal plus penyanyi, yang dilengkapi halo-halo dan teriakan agitatif juru kampanyenya. Itu yang meyakinkan, bahwa sebutan sebagai ‘calon legrek’ kemungkinan besar menjadi kenyataan. Calon orang susah itu yang sekarang sibuk anjangsana, menghiba rakyat agar memilihnya.
Adakah politik transaksional dan politik uang ini juga berdampak jelek terhadap rakyat di hari depan?
Tentu ya. Tapi berdasar pengalaman togel ‘halal’, maka ada sisi positif yang bisa dirasakan. Rakyat di desa-desa sekarang ini tiba-tiba punya hobi baru suka mengadakan rapat dan diskusi. Sering istigotsah, juga menghibur diri nanggap campursari atau wayang kulit semalaman.
Inilah pesta rakyat yang sebenar-benarnya. Bukan saat pemilu tiba, atau ketika penghitungan suara dan diketahui yang kalah dan pemenangnya.
29 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar