Anak-anak kecil itu berlarian di antara mesin-mesin pencabut nyawa. Anak-anak itu menjerit dan bertangisan ketakutan. Tatkala mereka dihajar peluru, tubuh mereka limbung bermandi darah. Dia meregang nyawa. Meninggal dengan sejuta tanya. Tanpa tahu penyebab Israel membinasakan bangsanya.
Tubuh-tubuh kecil itu berserakan di sepanjang jalan. Wajahnya yang polos menerbitkan rasa iba. Dalam dekapan sang ayah dan ibundanya terkasih, bocah-bocah itu matanya meredup sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Di kelopak matanya tergenang sebuah telaga. Kubangan air jernih yang berasal dari rasa sakit sebelum mati, dan ketidaksiapan berpisah dengan ibunda tercinta.
Pemandangan yang menyayat hati itu tidak henti hingga hari ini. Israel secara keji menyapu bersih wilayah Palestina. Kecanggihan alat perang dipakai untuk ‘menghapus’ sebuah bangsa. Bangsa yang ternista. Bangsa yang dari masa ke masa jadi musafir akibat terusir dari negerinya sendiri.
Perang Israel-Palestina bagi saya menumbuhkan heroisme. Heroisme batin. Sebab patriotisme itu menggugah keimanan kita untuk melakukan jalan yang sama dalam menuju hari akhir yang dijanjikan Allah. Ini adalah jihad. Jalan menuju hidup langgeng yang damai dan indah, yang diidam-idamkan setiap manusia beriman.
Itu pula yang membuat mata saya sembab dengan hati berbunga, saban melihat korban dewasa berjatuhan di pihak Palestina. Saya tidak yakin Palestina menang perang. Tapi saya sangat yakin, insyaallah Gusti Allah memberi tempat yang layak bagi para pejuang itu. Allahu akbar, betapa indahnya kematian itu.
Namun ketika melihat mayat anak-anak tidak berdosa itu bergelimpangan, airmata ini tak mampu dibendung. Airmata itu mengalir deras diikuti rasa sakit di hati. Tusukan sembilu itu mengoyak-oyak batin. Dan sambil berurai airmata, tidak sadar segala doa saya panjatkan bagi mereka. Saya lupa, bahwa Allah telah menjanjikan surga baginya.
Anak memang bukan ‘milik’ kita. Anak adalah titipan dari Kang Nggawe Urip. Titipan dari Yang Membuat Hidup. Titipan itu memberi kontribusi kita dalam kehidupan mendatang. Memberi keringanan. Juga ‘keberatan’ saat menyatu dengan Sang Khalik. Itu pula yang membuat Rabiah Al-Adawiyyah sengit terhadap ‘pembantunya’, tatkala wanita itu terlalu sayang dan terlalu mengasihi anaknya.
Khalil Gibran pun dengan liris mengamini itu. Anak diibaratkannya seperti anak panah. Ketika masih menyatu dengan busurnya, anak itu masih dalam ‘kekuasaan’ orangtua. Tapi ketika anak panah itu sudah lepas dari busurnya, maka ‘anak’ itu bukan lagi menjadi ‘anak kita’. Dia meluncur ‘begitu saja’. Dia ditakdirkan sesuai keinginan kita atau tidak bukan lagi urusan manusia. Itu urusan Gusti Allah. Ini yang dinamakan takdir.
Adakah anak-anak Palestina itu ditakdirkan mati seperti itu Ya Allah? Adakah tangis bagi mereka ini tanda lemahnya imanku Ya Allah? Adakah doa ini kepicikan nalarku yang masih rendah dalam memahami kehendakMu Ya Allah? Naudzubillahi mindzalik !
Tolong hentikan perang ini Ya Allah, biarpun aku tahu itu adalah jalan yang sempurna menyatu dengan-Mu. Tolong sudahi tragedi kemanusiaan dan pembantaian ini Ya Allah, kendati anak-anak itu nanti menjemput ayah-bundanya di pintu surga seperti yang Engkau janjikan.
Kabulkan doa ini Ya Allah, agar batin dan pikiranku tidak terus dirongrong rasa sakit. Pada siapa lagi aku menyembah dan meminta selain kepadaMu Ya Allah. Amin !
* Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati budaya.
17 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar