Premium langka. Antrian panjang di SPBU tiba-tiba jadi pemandangan lumrah. Dan gas? Wah, jangan tanya lagi. Sulit karena sirna dari peredaran. Ini yang membuat ibu-ibu rumahtangga kelabakan. Mereka memaki-maki yang ujung-ujungnya diarahkan ke pemerintah. “Kompor minyak suruh ganti kompor gas, sekarang gasnya tidak bisa dibeli. Negara apa ini kok selalu bikin susah.”
Yah, inilah tragik-komedi negeri ini. Negeri gelak tawa yang didominasi badut berprofesi ganda. Membuat lelucon yang menguras airmata, sambil sesekali nyopet hak rakyat bawah. Kehidupan nyata diperlakukan seperti panggung sandiwara, dan kalau ada kesempatan sedikit saja, jatah rakyat pun dijarah.
Memang tragis. rakyat kecil selalu jadi obyek penderita. Dipaksa berperan sebagai ‘aktor komedi’ sekaligus ‘korban pencopetan’. Mereka digiring untuk ‘melawak’ bersama, ‘baris-berbaris’ di halaman SPBU.
Sedang di kampung-kampung, ‘komedi’ sejenis juga digelar. Yang dicasting sebagai pemeran adalah ibu-ibu rumahtangga. Mereka dibuat panik. Nabrak kanan kiri mirip gabah diinteri. Juga telepon ke sana-ke mari. Tujuannya satu memburu LPG bersubsidi yang hilang dari pasaran. Siapakah gerangan yang berulah? Dialah ‘tukang copet elit’ yang berasal dari kalangan industri.
Premium sulit dibeli alasannya memang rada-rada logis. Karena harganya diayun-ayunkan pemerintah, naik turun secara maraton, pengusaha SPBU pun uring-uringan. Mereka tak mau merugi kendati sudah bertahun-tahun menangguk untung. Fluktuasi harga membuat mereka enggan order. Tempat penjualan premium ‘dikosongi’.
Ulah nakal beberapa pengusaha SPBU itu membuat kelangkaan premium di banyak daerah. Ditambah sistem distribusi Pertamina yang kurang maksimal, lengkap sudah derita rakyat. Mereka poyang-payingan memburu bensin. Dan seluruh daerah di negeri ini aktifitas tumplek blek antri BBM.
Jika kelangkaan premium gara-garanya ‘simpel’ macam itu, ternyata tidak demikian dengan gas yang kini menjadi kebutuhan pokok itu. Pasokan dari pemerintah sebenarnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar. Tapi stok itu menjadi kurang tatkala ‘copet-copet berdasi’ ikut berebut hak rakyat. Gas bersubsidi pun hilang dari peredaran.
Semula hanya gas tabung berat 17 kilogram yang raib dari pasaran. Setelah itu disusul gas tabung ukuran kecil yang sirna. Rakyat bawah pun menjerit. Mereka tak berdaya menghidupkan kompor di rumah. Siapakah gerangan yang rakus melahap gas seberat 3 kilogram itu? Siapa lagi kalau bukan ‘copet-copet kakap’ yang beroperasi bak kapal keruk itu.
Soal distribusi dan sosialisasi, pemerintah memang lemah. Itu terjadi tak cuma di sektor minyak dan gas. Soal pupuk saja yang sudah puluhan tahun jadi urat nadi pertanian masih terus terkendala. Sering langka dan hilang dari pasar yang menimbulkan histeria para petani. Jadi jangan heran jika program ‘kompor-gasisasi’ yang baru seumur jagung ‘dipaksakan’ itu ruwet dan membuat rakyat mumet.
Pemerintah, utamanya Pertamina harus berbenah. Jangan seperti ‘penguasa’ yang duduk di menara gading. Servis dan pelayanan terhadap konsumen amatlah penting. Itu kalau tidak ingin pontang-panting menghadapi pasar bebas yang sebentar lagi berlaku efektif.
Djoko Su'ud Sukahar
19 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar