Ini tanah surga, begitu kata Koes Plus. Kesurgaan itu terletak pada ‘tongkat kayu dan batu’ jadi tanaman. Tapi kenapa warga miskin tak kunjung surut dan kelaparan masih saja terjadi di negeri ini? Kita memang masih mencari jawab, mengapa hidup di ‘tanah surga’ kok masih bisa kelaparan.
Jika mau jalan-jalan menyusuri desa dan kampung di negeri ini, tergambar sebuah skema yang memberi kesan, ada faktor-faktor tertentu penyebab rakyat tetap miskin dan kelaparan. Itu karena ganasnya alam, karena malas, dan ada pula karena sempitnya lapangan kerja.
Untuk kategori pertama dan kedua saya temui di Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Daerah ini berbukit-bukit, tandus, dan curah hujan per tahun hanya tiga bulan. Jika musim hujan yang pendek itu tak cepat dimanfaatkan, hampir pasti kelaparanlah buahnya.
‘Kurang makan’ di daerah ini sudah seperti rutinitas. Itu tak cuma saat dijajah Portugis, Belanda atau setelah merdeka di bawah payung Negara Indonesia. Yang membedakan, saat penjajah dan Orde Baru menguasai daerah ini kabar itu tak terberitakan, tapi ketika Orde Reformasi, warta itu mengalir bak air bah. Santer sekali.
Kelaparan itu di-blow-up habis-habisan. Para politisi besar perhatiannya. Peristiwa yang bagi warga setempat jadi persoalan lumrah itu mencuat ke permukaan. Kelaparan itu berubah jadi pedang tajam. Menebas kepala siapa saja yang diinginkan. Adakah dengan begitu rakyat setempat terbebas dari kelaparan? Ndak juga tuh !
Kelaparan masih laten terjadi di kabupaten ini. Tanda-tandanya gampang dikenali. Jika musim kering tiba naiklah di perbukitan. Dari ketinggian ini akan tampak, adakah asap mengepul dari lopo-lopo (rumah khas setempat) yang dihuni warga itu. Jika tidak kelihatan asap, itu sinyal, bahwa warga yang menempati rumah itu perutnya sedang keroncongan.
Tapi mengapa ‘musik keroncong’ jadi irama rutin? Itu selain faktor alam, ternyata juga faktor manusianya. Warga di daerah ini terbilang malas. Kalau musim hujan tiba, mereka acap menikmatinya dengan jalan-jalan dan berhibur ke pasar. Itu yang membuat Pieter Alexander Tallo kala menjabat sebagai bupati daerah ini menerapkan kebijakan ‘yang tidak manusiawi’.
Sang Bupati yang kemudian menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timor (NTT) dan sekarang sudah pensiun itu melakukan ‘Operasi Cinta Tanah Air’. Jika musim hujan tiba, Sang Bupati dan aparatnya keluyuran di jalan-jalan dan pasar.
Jika berpapasan dengan lelaki warga setempat distop dan ditanyai alasannya jalan-jalan dan ke pasar. Kalau jawabannya untuk lihat-lihat, maka tanpa kompromi warga itu ditangkapnya. Disuruh buka mulut, dipaksa makan tanah, dan kemudian diguyur air.
“Saya Putra Timor. Saya tahu watak mereka. Saya tak ingin kemalasan ini jadi budaya. Saya tak rela warga saya terus-terusan kelaparan akibat sikap malas itu,” kata lelaki yang akrab dipanggil Piet Tallo itu saat kebijakannya diprotes.
Namun benarkah jika ‘budaya malas’ itu terkikis negeri ini akan gemah ripa loh jinawi seperti suratan Empu Tantular dalam Sutasoma? Rasanya kok tidak serta-merta begitu. Sebab ada dua faktor lain yang justru menjadi kunci menuju kesejahteraan dan kegemilangan itu di hari depan.
Pertama adalah tersedianya sumber alam dan energi. Dan kedua penguasaan teknologi. Tanpa dua ‘kekayaan’ ini, sebuah bangsa akan hilang dalam percaturan global. Tak hanya miskin, tapi juga hina dina plus papa.
Tapi bersyukurlah, bangsa ini masih punya masa depan. Itu karena kita punya sumber alam dan energi yang melimpah. Hanya, karena teknologi masih jadi ‘ilmu langka’, maka sementara waktu harus sabar dikadali bangsa lain dan bangsa sendiri yang jadi makelar asing. Tapi sampai kapan itu?
08 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar