Dari ujung kota kulihat sederhana tangis seorang anak. Ku datangi dia dan kutanya apa yang kau tangisi. Si anak diam membisu. Seribu diam terbungkus sedih dalam hatiku. Lalu, aku bersandar di antara dinding kota yang rapu dan berdo’a…
Tiba-tiba, seorang ibu menghampiri seorang anak kecil yang menangis tadi. “Ayo le pak Sby mumpung durung muleh. Nontok teko ngarep wae yo le. Kuwi wakeh pak polisi podo baris. Mengko diseneni yen mlebu,” kata sang ibu. Dengan sederhana sang ibu membujuk si anak. Anak itu pun manut. Tapi nampak tersimpan sedih di balik wajah lugunya.
Beribu tanya di dalam hatiku. Apa gerangan yang diharapkan anak itu? Sejenak, teringat cukilan syair bang Iwan ‘…seperti udara kasih yang telah kau berikan’. Mungkin itu yang di harapkan anak tentang sosok presiden. Tapi apa daya seorang anak kecil dan sang ibu yang berhimpitan dengan tubuh tegap dan kekar aparatur negara.
Apa benar bapak negriku punya sentuhan nurani tentang kaum yang sebenarnya sangat mengharapkan senyum sapa? Senyum di balik penghalang. Atau memang bapak negriku tidak punya waktu untuk bersama sama anak-anak yang memang seharusnya mendapat perhatian sebagai kitab hidup untuk memacu pribadinya sebagai generasi bangsa. Bahwa, pemimpin negriku hidup untuk kami.
*Ros-ros ing urip pun digugat abdi meniko namung sadermi… Pitutur hang luhud ingkang dalem tenggo, sami ridho palungguhanipun
*Samar sesamaripun ingkang dalem ulas alisi supadosipun wujud padang pepadangipun. Jemembar jembaripun mboten supe ananing peteng dedet.estu laku meniko ananing urip’ becik kethithik olo ketoro’ sanes aksoroipun...
08 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar